Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Februari 2011

imam al ghozali



AL – GHAZALI (450 H/1058 M – 505 H/1111 M)

A.     Riwayat Hidup Al - Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Ghazali ath-Thusi. Beliau di lahirkan di Thus , sebuah kota di Khurasan (Iran) pada tahun 450 H / 1058 M. Orang tuanya adalah ahli tasawuf dan hanya mau makan dari hasil tangannya sendiri, yaitu dari hasil pembuatan kain wool yang dijual di pasar.

Pada masa kecil ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasr al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naisabur dan belajar pada Imam Al-Haromain (Imam kota Makkah dan Madinah). Disinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh mazhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah “ lautan tak bertepi”.[1]
Setelah Imam Al-Haromain wafat, al-Ghazali pergi ke al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al-Muluk dari pemerintah dinasti saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan ilmuwan. Semuanya mengakui keunggulan dari keilmuan yang dimiliki al-Ghazali. Akhirnya menteri Nizam al-Muluk melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai guru besar (profesor)  pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi ini selama empat tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.[2]
Di kota Baghdad ini, nama al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok) pengajiannya semakin luas. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat dari sikap kesanksiannya (al-syak), yang oleh orang barat dikenal dengan scepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun yang rasional. Akibat dari krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad. Kemudian ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia menyendiri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/ 1098 M, ia menuju Palestina berdoa disamping maqam Nabi Ibrahim a.s. Kemudian ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. Akhirnya ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf. [3]
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, al-Ghazali kembali memimpin perguruan tinggi Nizamiyah di Baghdad atas desakan perdana menteri Fakhr al Mulk, anak dari Nizam Mulk.Tetapi setelah perdana menteri ini mati terbunuh, ia kembali lagi ke Thus tanah kelahirannya, disinalah beliau membangun sebuah madrasah khan-kah (semacam tempat praktik suluk) untuk mengajar tasawuf. Usaha ini baliau lakukan sampai beliau wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H / bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Ia menghembuskan nafasnya  yang terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya di kebumikan disebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal yaitu Al Firdausiy.[4]
Sosok al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang yang produktif. Pemaparannya yang sangat bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang disajikannya sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah.
Al-Ghozali mendapat gelar kehormatan Hujjah al Islam (argumentasi islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama islam, terutama terhadap kaum Bathiniyah dan kaum filosof. 


B.     Karya-Karya Al-Ghazali


Karangan al-Ghazali bejumlah lebih dari 100 buah, yang meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan seperti : ilmu kalam (teologi islam), fiqh (hukum islam), tasawuf, akhlak dan autobiografi. Sebagian besar karangannya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Parsi.[5] Abdurrahman Badawi telah berhasil menulis kitab khusus tentang karangan al-Ghazali dengan judul mu’allafat al-Ghazali (Kairo, 1961). Buku tersebut ditulis untuk memperingati tahun kelahiran al-Ghazali yang kesembilan ratus.
Kitab yang paling terkenal; dari karya al-Ghazali adalah Ihya ‘Ulumuddin   (menghidupkan ilmu-ilmu agama), yang dikarangnya dalam beberapa tahun dalam keadaan berpindah pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz dan Yuz. Kitab ini berisi tentang kumpulan pokok pokok agama antara lain akidah, fiqh, tasawuf dan filsafat. Kitab ini tidak hanya dikenal oleh kalangan kaum muslimin tetapi juga dunia barat dan luar islam.
Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan al-Ghazali ada 47 buah. Nama-nama buku tersebut adalah:
1.      Ihya’ Ulum al-Din (berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan aqidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk)
2.      Al Iqtishad fi al I’tiqod  (diuraikan di dalamnya akidah menurut aliran al-Asy’ariah)
3.      Maqashidu al falasifah  (berisikan ilmu manthhiq, alam dan ketuhanan)
4.      Tahafut al Falasifah  (berisikan kritikan terhadap para filosof)
5.      Munqidz min al Dhalal (dipaparkan di dalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting)
6.      Mizan al ‘Amal (di dalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak) [6]
7.      Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan)
8.      Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq)
9.      Al-Qisthas al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
10.  Al-Mustadhiry
11.  Hujjat al-Haq (dalil yang benar)
12.  Mufahil al-Khilaf fi Ushul ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din)
13.  Kimia al Sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah)
14.  Al-Basith (fiqh)
15.  Al-Wasith (fiqh)
16.  Al-Wajiz (fiqh)
17.  Al-Khulashah al-Mukhtasharah (fiqh)
18.  Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil (tafsir 40 jilid)
19.  Al-Mushtashfa (ushul fiqh)
20.  Al-Mankhul (ushul fiqh)
21.  Al-Muntaha fi ‘Ilmi al-Jadal (cara-cara debat yang baik)
22.  Mi’yar al-‘Ilmi (timbangan ilmu)
23.  Al-Maqashid (yang dituju)
24.  Al Madnun bihi ‘ala Ghori Ahlihi
25.  Misykat al Anwar (pelajaran keagamaan)
26.  Mahku an-Nadhar
27.  Asraru ‘ilmi ad-Din (rahasia ilmu agama)
28.  Minhaj al-Abidin
29.  Ad-Darar al-Fakhirah fi Kasyfi ‘Ulum al-Akhirah (tasawuf)
30.  Al-Anis fi al-Wahdah (tasawuf)
31.  Al-Qurbah ila Allah ‘Azza wa Jalla (tasawuf)
32.  Akhlaq al-Abrar (tasawuf)
33.  Bidayat al-Hidayah (tasawuf)
34.  Al-Arba’in fi Ushul ad-Din (ushul al-din)
35.  Adz-Dzari’ah ila Mahakim asy-Syari’ah (pintu ke pengadilan agama)
36.  Al-Mabadi wa al-Ghayat (permulaan dan tujuan)
37.  Talbisu Iblis (tipu daya iblis)
38.  Nashihat al-Muluk (nasihat bagi raja-raja)
39.  Syifa’u al-Alil fi al-Qiyas wa at-Talil (ushul fiqh)
40.  Iljam al-Awwam ‘an ‘Ilmi al-Kalam (ushul al-din)
41.  Al-Intishar lima fi al-Ajnas min al-Asrar (rahasia-rahasia alam)
42.  Al-Ulum al-Laduniyah (ilmu laduni)
43.  Ar-Risalah al-Qudsiyah
44.  Isbath an-Nadhar
45.  Al-Ma’akhidz (tempat pengambilan)
46.  Al-Qaul al-Jamil fi ar-Raddi ‘ala Man Ghayyara al-Injil (perkataan yang baik bagi orang yang mengubah injil)
47.  Al-Amali.[7]


C.     Pemikiran Al- Ghazali

Al-Ghazali dalam sejarah filsafat islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak terhadap segala- galanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilm al-kalam atau teologi yang diperolehnya dari al- Juwaini. Sebagaimana diketahui dalam ilmu al-kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam diri al- Ghazali: aliran manakah yang betul- betul benar diantara aliran itu?[8]
Sebagai seorang yang digelari Hujjatu ‘l-Islam, al-Ghazali telah menguasai ilmu filsafat yang sangat mendalam, sehingga ia berhak disebut sebagai seorang filosof, meskipun ia sendiri tidak rela. Kitab yang berjudul Maqoshidu ‘l-Falasifah adalah suatu bukti nyata atas pemahaman yang mendalam terhadap ilmu filsafat, sedangkan kitabnya yang berjudul Tahafutu ‘l-Falasifah adalah dalil lain atas kemampuannya yang luar biasa dalam mengeritik teori dan pemikiran para filosof.[9] Berikut ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang menjadi hasil pemikiran al-Ghazali.


1.      Metafisika
  1. dalil wujud Allah

Argumen-argumen al-Ghazali dalam Tahafut ‘l-Falasifah dilancarkan dengan cara polemik yang logis, ilmiah dan teratur. Seperti yang kita ketahui, al-Ghazali juga terkenal sebagai ulama’ mantiq dan pemberi tuntunan secara bermujadalah.[10] Sebagaimana ulama’ kalam, al-Ghazali mengemukakan sejumlah dalil tentang wujud Allah. Dalil tersebut dapat disimpulkan pada dalil agama (dalil syar’i) dan dalil akal (dalil ‘aqli). Yang dimaksud dengan dalil agama ialah yang berdasarkan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Tentang hal ini, ia mengungkapkan sebagai berikut:
“Jelaslah bagi orang- orang yang berakal, apabila ia sedikit berfikir tentang kandungan ayat-ayat ini lalu ia alihkan pandangannya terhadap keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit serta keindahan penciptaan hewan dan tetumbuhan, (jelaslah) bahwa perkara yang mengagumkan ini serta ketertiban yang rapi ini mesti ada baginya Pencipta yang mengaturnya, Pembuat yang mengendalikannya.”
Sebenarnya dalam fitrah manusia dan dalil-dalil al-Qur’an sudah cukup untuk menjadi bukti adanya Allah. Namun , karena mengikuti tradisi para ahli kalam, al-Ghazali mengemukakan dalil-dalil akal dalam masalah ini. Ia membedakan Allah dengan alam sebagai yang “kadim” dengan yang “baharu”. Wujud yang kadim merupakan sebab bagi adanya yang baharu. Oleh karena itu, wujud alam sebagai sesuatu yang baharu merupakan bukti nyata bagi wujud Allah. Bukti ini dijelaskan sebagai berikut.
-   Sesuatu yang baharu memerlukan kepada sebab yang menjadikannya.
-   Alam ini baharu.
-   Jadi, alam memerlukan kepada sebab yang menjadikannya.
Adapun bukti bahwa alam ini baharu, karena segala jisim yang ada di alam ini tidak dapat dipisahkan dari pelbagai peristiwa yang melekat padanya, seperti berubah, bergerak dan tetap. Adapun wujud Allah itu kadim, al-Ghazali membuktikan bahwa jika Ia baharu seperti alam ini, maka tentu juga memerlukan kepada sebab yang menjadikannya, dan demikian pula sebab itu perlu kepada sebab yang lain pula sampai tidak ada habisnya. Hal yang demikian ini tidak akan menghasilkan apa-apa, atau ia harus berakhir pada pencipta yang kadim. Dan inilah yang dituju dengan dalil ini.[11]

  1. dzat dan sifat
Menurut al-Ghazali, ilmu yang sangat tinggi martabatnya ialah mengenal Allah (ma’rifatu Allah) dengan mengetahui dzat, sifat dan af’al-Nya (perbuatan). Oleh karena dzat Allah tidak dapat terjangkau oleh pengetahuan manusia, maka mereka tidak diwajibkan mengetahuinya. Dalam hal ini, mereka cukup mengetahui sifat-sifat dan perbuatan-Nya saja. Nabi bersabda: “Berfikirlah tentang mahluk ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang dzat-Nya, sehingga kamu tidak binasa.”[12]
Sebagaimana ahlussunnah pada umumnya, al-Ghazali menetapkan adanya sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah. Sifat-sifat tersebut terdiri atas sifat dzat dan sifat ma’ani.
Adapun sifat-sifat dzat atau yang disebut sifat salbiah adalah sifat-sifat yang menafikan hal-hal yang tidak sesui dengan kesempurnaan dzat Allah. Sifat-sifat itu ada lima: Qodim (tidak bermula), Baqo’ (kekal), Mukhalafatu li’l-Hawadits (berbeda dengan makhluk), Qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdaniyyah (esa). Andaikata dzat Allah tidak memiliki sifat-sifat tersebut, maka sifat-sifat sebaliknya akan menafikan kesempurnaannya, yaitu: baharu, berakhir, sama dengan makhluk, memerlukan kepada yang lain dan banyak.
Adapun sifat-sifat ma’ani yang disebut juga sifat tsubutiyah ialah pengertian-pengertian yang melekat pada dzat dan berbeda dengan dzat itu sendiri. Sifat-sifat tersebut ada tujuh, yaitu: al-Qudrah (maha kuasa), al-Iradah (maha berkehendak), al-‘ilmu (maha berilmu), as-Sam’u (maha mendengar), al-Bashar (maha melihat), al-Kalam (maha berbicara)  dan al-Hayy (maha hidup).
Terhadap sifat-sifat tersebut, al-Ghazali menetapkan empat ciri-ciri khas sebagai berikut:
-   Sifat-sifat ma’ani itu bukan dzat, tapi tambahan pada dzat.
-   Sifat-sifat itu adalah kadim seperti halnya dzat Allah.
-   Sifat-sifat tersebut tidak boleh berpisah dalam keadaan apapun.
-   Nama-nama Allah yang berasal dari sifat-sifat tersebut telah terwujud pada-Nya sejak azali.

  1. Af’al  Allah
Yang dimaksud dengan Af’al  Allah adalah perbuatan Allah yang berwujud penciptaan segala sesuatu di alam ini. Karena itu, Allah disebut al-Khaliq atau ash-Shani’ (pencipta, pembuat). Al-Ghazali telah membahas secara terperinci tentang perbuatan Allah di atas sepuluh dasar sebagai berikut:
  1. Segala yang baharu adalah ciptaan Allah, tidak ada pencipta selainnya. Qs 13:18
  2. Gerakan dan perbuatan manusia sebagai perbuatan Allah tidak menafikan perbuatan manusia yang disebut “usaha” (kasab).
  3. Perbuatan manusia sebagai usahanya (kasab) tidak terlepas dari kehendak Allah. Dari Allah berasal segala yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang tidak, islam dan kufur, taat dan durhaka, syirik dan iman. Qs 14: 4
  4. Bahwa tidak wajib bagi Allah menciptakan alam dan menurunkan agama yang di dalamnya terkandung kemaslahatan manusia.
  5. Bahwa Allah mampu mewajibkan manusia melakukan kewajiban yang ia tidak mampu.
  6. Bahwa Allah dapat mengazab atau menyiksa hamba-Nya yang tidak berdosa karena Ia dapat bertindak dalam kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.
  7. Bahwa Allah dapat melakukan terhadap hamba-Nya apa yang dikehendaki, sehingga Ia tidak menjamin kemaslahatan yang lebih baik baginya.
  8. Bahwa mengetahui dan menaati Allah wajib atas manusia berdasarkan syariat bukan atas dasar akal seperti yang dikatakan Mu’tazilah.
  9. Bahwa mengutus para nabi kepada umat manusia bukanlah hal yang mustahil seperti yang dikatakan para pendeta hindu.
  10. Bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad sebagai rasul penutup dan juga bertugas untuk menghapuskan agama sebelumnya.[13]
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa al-Ghazali adalah seorang pemuka Ahlussunnah yang membela mazhab Asy’ariyyah. Dalam hal ini dalil yang digunakan kebanyakan bersumber dari agama, beliau menggunakan dalil akal hanya seperlunya saja.
                                    
2.      Fisika
Ilmu fisika menurut al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur tunggal, seperti  air, udara, tanah dan api. Kemudian benda-benda tersusun, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang ada di dalamnya. Sebagaimana untuk agama tidak disyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula ilmu fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam empat persoalan, yang dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Tuhan, tidak bekerja dengan dirinya sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan, Zat penciptanya.[14]
Al-Ghazali berbeda pendapat dengan al-Farabi dan Ibn sina dalam hal teori penciptaan. Menurut beliau, alam ini dijadikan Allah berdasarkan iradah-Nya yang azali dan sesuai pula dengan ilmu-Nya yang azali.
Menurut al-Ghazali, akal merupakan makhluk pertama yang keluar dari Yang Esa (Allah) yang telah menciptakannya dengan kudrah-Nya. Akal ini mendahului jiwa dari sisi dzat, bukan zaman, tempat, atau materi.
Ada bentuk lain dari alam, kata al-Ghazali: “Ketahuilah bahwa alam- alam ini ada tiga: 1) alam mulk dan syahadah, 2) alam malakut, dan 3) alam jabarut yang terletak antara alam mulk dan malakut.”[15]
Dalam kaitannya dengan alam syahadah dan alam malakut, beliau membuat perbandingan seperti kulit dan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani dan alam nurani, sementara alam syahadah adalah alam bawah, alam jasmani dan alam gelap. Al-Ghazali mengumpamakan perbandingan dan tingkat kedua ala mini dengan cahaya bulan yang menerobos masuk rumah lewat lubang angina dan jatuh di atas sebuah cermin yang membiaskan cahaya tersebut kepada dinding di depannya lalu membiaskan lebih lanjut ke lantai sehingga meneranginya. Dalam perumpamaan ini, cahaya di lantai berasal dari dinding, yang berada di dinding berasal dari cermin, yang berada di cermin berasal dari bulan, dan yang berada di bulan berasal dari matahari yang merupakan sumber dari cahaya bulan. Keempat cahaya ini, berturut-turut, sebagian lebih tinggi dan lebih sempurna dibanding yang lain.[16]

3.      Manusia

Manusia menurut al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual robbani yang sangat halus (lathifah rabbaniyah ruhaniyyah). Istilah-istilah yang digunakan al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.[17]
Mengenai definisi jiwa dan asal usul jiwa, al-Ghazali tidak banyak menyimpang dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh al-Farabi, terutama Ibn Sina. Dalam kitab Ma’ariju ‘l-Quds fi Madariji Ma’rifatin-Nafs, ia membedakan tiga jenis jiwa: jiwa nabatiyyah, jiwa hawaniyyah, dan jiwa insaniyyah. Ia memberikan deinisi jiwa-jiwa tersebut sebagai berikut:
-   jiwa nabatiyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi makan, tumbuh, dan melahirkan jenisnya”.
-   jiwa hawaniyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradah”.
-   jiwa insaniyyah adalah “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis dari segi melakukan perbuatan dengan ikhtiar akali dan istinbat dengan pikiran, dan dari segi mengetahui hal-hal yang umum”.[18]


4.      Akhlak

Al-Ghazali membangun pemikirannya tentang ilmu akhlak atas dasar ajaran islam yang berciri mistik. Yang dimaksud ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tingkah laku amaliyah manusia: apa yang seharusnya dilakukan agar suluk atau tingkah lakunya sesuai dengan semangat agama Islam. dan untuk keperluan ini, ia menulis kitabnya yang terkenal ihya ‘ulum ad-Din. Kitab ini ditulis dalam empat bagian masalah:
a.             Bagian Ibadah (rubu’ al-‘ibadah)
b.            Bagian Adat-Istiadat (rubu’ al-‘adah)
c.             Bagian Yang Membinasakan (rubu’ al-muhlikat)
d.            Bagian Yang Menyelamatkan (rubu’ al-munajjiayat)
Al-Ghazali memberikan definisi tentang akhlak dalm kitab ihya ‘ulum ad-Din adalah sebagai berikut: “ Akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir pelbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”[19]


5.      Teori Ma’rifah

Seperti telah disebut di muka, al-Ghazali membagi alam menjadi dua: alam syahadah dan alam ghaib. Manusia adalah makhluk yang menempati antara dua alam ini. Dari itu, manusia dapat mengenal dua jenis alam tersebut dan dua jenis makrifah yang berbeda.
Pengetahuan manusia tentang alam syahadah dapat diperoleh melalui daya-daya jasmani, seperti pancaindera, khayal, mengingat, faham, berpikir dan sebagainya. Objek dari alam ini terdiri dari: objek pemikiran (ma’qulat), objek penginderaan (mahsusat), hal-hal yang masyhur dan hal-hal yang diterima (maqbulat).
Yang dimaksud objek pemikiran ialah sesuatu yang hanya diketahui dengan akal, yakni hal-hal yang abstrak, seperti dua hal yang berlawanan tidak dapat berkumpu, satu mendahului dua dan sebagainya. Yang dimaksud dengan objek penginderaan ialah hal-hal yang diketahui oleh pancaindera, seperti perbedaan warna dan rasa. Yang dimaksud dengan hal-hal yang masyhur ialah adat kebiasaan yang terdapat pada suatu bangsa, negeri, dan masa tertentu, seperti kebiasaan berpakaian, upacara perkawinan, kematian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan hal-hal yang diterima ialah apa yang diterima melalui pemberitaan.
Ma’rifah hakiki menurut al-Ghazali adalah yang diperoleh hati melalui emanasi (isyaraq). Dalam hal ini, ia mengumpamakan hati dan lauh mahfudz dengan cermin karena pada keduanya terdapat citra semua yang ada. Jika cermin diletakkan berhadapan dengan cermin lain, maka citra yang ada padanya berpindah kepada cermin lain.[20]
Wujud alam di lauh mahfudz hanya diketahui oleh para nabi dan wali, dan wujud yang selainnya dapat diketahui oleh para ulama dan hukama. Perbedaan ilmu para nabi dan wali dengan para ulama dan hukama ialah ilmu mereka itu berasal dari dalam hati, dari pintu yang terbuka ke lauh mahfudz, sedangkan ilmu para ulama dan hukama berasal dari pancaindera yang terbuka ke alam empiris.
Dengan demikian, bagi al-Ghazali bahwa al-dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan ang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.[21]


D.    Sanggahan Al-Ghazali Terhadap Para Filosof

Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud para filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan Plato, juga al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof muslim ini dipandang Al ghozali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebar luaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut di tuangkan dalam bukunya yang terkenal yaitu Tahafut al Falasifat  (Kerancuan Pemikiran Para Filosof). [22]  
Menurut al-Ghazali menolak sebuah madzhab  sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam dalamnya berarti menolak dalam kebutaan.[23] Perlu dipahami, bahwa pendapat tersebut perlu lebih dicermati. Dalam buku Maqashid al Falasifat  al-Ghazali menjelaskan maksud dan tujuan filsafat para filosof yang belum tentu cocok dengan pendapat para filosof  itu sendiri. Pendapat ini dapat dibuktikan ketika ia mengkritik, bahkan mengafirkan para filosof yang sebenarnya berbeda dengan maksud para filosof itu sendiri.
Dalam buku Munqiz al Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan para filosof menjadi tiga golongan:
1.      Filosof  Materialis (Dahriyyun), mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2.      Filosof  Naturalis (Thabi’iyyun), mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.Melalui penelitian penelitian ini mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini.Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan RasulNya dan hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.      Filosof  Ketuhanan (Ilahiyyun), mereka adalah filosof Yunani, seperti Sokarates, Plato, Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (materialis dan naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan dirinya sendiri dari sisa sisa kekafiran dan keheredoksian (bid’ah). Oleh karena itu ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al Farabi dan Ibnu Sina yang menyebar luaskan pemikiran ini di dunia Islam.[24]
Untuk lebih memahami pengelompokan filsafat di atas dapat dilihat dari pengelompokan ilmu filsafat yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Ilmu filsafat menurut al-Ghazali terbagi menjadi enam bidang yaitu : ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Ghazali, ilmu ilmu tersebut dapat di terima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam, kendatipun ada negatifnya yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut.
Setelah menganalisis paham atau ajaran yang ada dalam filsafat, baik yang berasal dari pengaruh Yunani ataupun orisinalitas dari para filsuf muslim, akhirnya al-Ghazali memberikan pemetaan masalah sekaligus memberikan ulasan dan penolakan terhadap masalah tersebut, yakni:
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali.
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal.
3.      Menjelaskan keragu raguan mereka bahwa Allah lah pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya.
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam mebuktikan Yang Maha Pencipta
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat
7.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al jins dan al fashl (diffirentia)
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat  mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.  Menjelaskan pernyataan mereka tentang al dahr (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir)
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat  mereka bahwa Allah mengetahui yang selainNya
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat  mereka  dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui dzatNya
13.  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauanNya
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet planet
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet planet mengetahui semua yang  juz’iyyat
17.  Membatalkan pendapat mereka bahwa  yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh.[25]
Tiga dari dua puluh masalah di atas,ada pemikiran yang  menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya pada filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis yaitu :
  1. Alam dan Semua Substansi Qadim ( Qadimnya Alam )
  2. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam
  3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.[26]

1.      Alam dan Semua Substansi Qadim ( Qadimnya Alam )
Filosof  filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya ‘ilat atas ma’lulnya (sebab akibat) yaitu dari dzat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan alasan alasan mereka, dan untuk tiap tiap alasan  kami sebutkan pula bantahan al-Ghazali, Alam ini qadim artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan (keqadiman) Allah dari alam hanya dari segi dzat bukan dari segi zaman seperti keterdahuluan sebab dari akibat.Untuk menopang pendapat ini, menurut al Ghozali para filosof muslim mengemukakan pendapat sebagai berikut :
a.       Mustahil timbulnya yang baru dari yang qadim, artinya jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan, dan hal ini akan menjadi qadim kedua duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang qadim sudah ada, sedangkan  alam belum lagi ada karena merupakan kemungkinan semata dan setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasanya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya.
Jawaban al-Ghazali: tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya  yang qadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena belum dikehendakiNya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama.

b.      Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum dzatiy) sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamaniy) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan  bilangan satu dari dua.
Jawaban al-Ghazali: memang wujud Allah lebih dulu dari alam dan zaman. Zaman baru dan diciptakan .Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Yang pertama kali ada adalah Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah.
c.       Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Jawaban al-Ghazali: alam ini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan alam ini  ada selama-lamanya (qadim) tentu ia tidak  baru. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak serasi /cocok dengan teori kemungkinan.[27]
Alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dengan dirinya,dengan hukum-hukumnya. Akan tetapi ia – wujud, sistem dan hukum-hukumnya – bertopang pada Allah. Dialah yang mencipta, mengendalikan dan mematikan segala sesuatu.[28]
   
2.      Allah Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyat (Perincian) Yang Terjadi Di Alam
Para filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui dzatNya dan tidak mengetahui yang selainNya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut,  hal itu akan membawa perubahan kepada dzatNya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah/berkurang).Ini mustahil pada Allah[29].
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek itu membawa perubahan pada ilmu.Karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan dzat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada dzat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut, Al Ghozali mengemukakan ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda, lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau ke belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda.Demikian pula ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmuNya yang satu semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuiNya itu mengalami perubahan.[30] Untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya : 
a.QS Yunus 10:61:.......tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh maufuzh).
b.QS Al Hujurat 49:16 : ……dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan para filosof muslim, bahwa ilmu dan dzat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha Mengetahui. Perbedaan antara mereka terletak pada cara Allah  mengetahui yang juz’iyyat (parsial) lewat kulli (umum) dan para filosof tidak pernah mengatakan Allah tidak mengetahui. Hal ini terjadi karena perbedaan mereka dalam menentukan sifat dan dzat Tuhan.

Kamis, 10 Februari 2011

IBNU TAIMIYAH


A.     Biografi Ibnu Taimiyyah

     Beliau adalah Ahmad Taqiy ad-Din Abu al-Abbas Bin as-Syaikh Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abdul Halim. Keluarganya dikenal dengan sebutan keluarga Ibn Taymiyah. Beliau dilahirkan pada tanggal 10 Rabi’ul awal 961 H, di kota Haran yang merupakan tempat lahirnya filsafat dan para filosuf, serta merupakan pusat ilmu keagamaan bagi kaum ‘shobiin’ di masa lampau. Beliau tumbuh besar di sana hingga berumur tujuh tahun, kemudian kota itu diserang oleh bangsa Tartar, lalu penduduknya melarikan diri dari kota itu, dan diantara yang melarikan diri adalah keluarga Ibn Taymiyah yang menuju tanah Damaskus. Sebenarnya jalan menuju sana tidak aman, karena itu keluarganya pergi pada malam hari dengan melakukan penyamaran. Keluarga Ibn Taymiyah adalah keluarga ilmuwan, harta bendanya adalah buku-buku yang menjadi beban tersendiri dalam menyertai perjalanan keluarga ini hingga sampai tanah damaskus dan menetap di sana dengan selamat.
Keluarga Ibn Taymiyah di zaman dulu terkenal dengan keilmuwan dan keagamaannya, ber-madzhab Hanbali dalam ilmu fiqh maupun akidah. Madzhab Hanbali memang mewarnai keluarga ini. Kakeknya, Abu al- Barokaat Mujiddu ad-Din adalah termasuk dari imam madzhab dan termasuk dari pembesar ulama’-nya. Kalau ayahnya, as-syaikh Syihab ad-Din Abdul Halim bin Taymiyah adalah seorang ‘alim yang aktif dalam ber-amar-ma’ruf dan ahli fiqh madzhab Hanbali, pengajar, juga seorang mufti.
Keluarga Ibnu Taymiyah yang kental dengan keagamaan dan keilmuannya, membawa pengaruh sangat positif terhadap perkembangan Ibnu Taymiyah sendiri. Beliau tumbuh dalam kecintaannya terhadap ilmu sejak masih kecil, menghafal al-qur’an dalam usia yang sangat belia, kemudian dilanjutkan dengan menghafal hadits dari guru-gurunya. Beliau juga menekuni bidang baca tulis, juga melakukan riyadloh.
Ibn Taymiyah mulai belajar fiqh pada ayahnya sendiri. Kemudian untuk bidang ilmu nahwu, beliau mempelajari sendiri dengan serius kitab Imam Sibawaih. Setelah itu beliau baru mempelajari tafsir al-qur’an dan mengkaji secara berulang-ulang keterangan-keterangan yang luas di dalamnya dengan kecerdasannya yang teruji, lurus, daya ingat yang sangat kuat, dan daya fikir yang bijak dan tangguh. Lalu baru fokus mempelajari hukum-hukum ushul fiqh.[1]
Ibn Taymiyah tidak tampak kesulitan mempelajari madzhab Hanbali, sebagaimana beliau tidak tampak kesulitan mempelajari madzhab-madzhab yang lain.
Kemudian setelah itu hasratnya berpindah ingin mendalami perihal kelompok-kelompok dalam bidang ilmu teologi atau ilmu kalam, seperti mu’tazilah, syi’ah, asy’ariyah yang mewarnai dunia islam ketika itu, sebagaimana beliau menekuni dengan serius aliran-aliran dalam ilmu filsafat. Maka dari itu beliau mempelajari ilmu mantiq dan filsafat secara mendalam dan detail, dan menjadi sangat menguasainya, sampai akhirnya beliau menemukan titik lemah dalam ilmu itu, dan kekeliruan para penyusunnya yang terdiri dari para ilmuwan Yunani. Apalagi ketika beliau mendalami ajaran agama lain seperti agama Yahudi dan Kristen(Nasrani), beliau kemudian berbalik menentang dan memberikan kritikan atas ilmu-ilmu ini (ajaran-ajarannya).[2]
Dan selain ulama besar, Ibn Taimiyah juga seorang pejuang sejati. Pada tahun  700 H, ada desas-desus pasukan Mongol yang terkenal sangat kejam hendak menyerbu Syiria. Berita tersebut membuat para penduduk menjadi panic dan ketakutan, bahkan ada yang ingin mengungsi untuk menyelamatkan diri.
Dalam keadaan seperti itu Ibn Taymiyah tampil. Ia berseru agar mereka tenang dan tidak perlu takut. Ia mengajak mereka untuk melawan pasukan kafir tersebut. Berkat turun tangan Ibn Taymiyah, keadaan menjadi tenang bahkan dengan semangat mereka mengumpulkan dan untuk membantu perjuangan.
Ketika pasukan Mongol sudah mendekat, merekan ingin memohon perlindungan sultan al-Nashir dan pasukan dari Mesir. Ibn Taymiyah segera betindak. Tanpa rasa takut ia pergi ke Mesir seorang diri untuk menemui Sultan. Setelah melewati jalan panjang yang agak aman, ia tiba di Kairo dengan selamat. Ia mendesak sultan agar segera ke Syiria dengan membawa pasukan, karena keadaannya sedang gwat. Dan Sultan pun bersedia.
Dan pada bulan Rajab tahun 702 H Sultan al-Nashir tiba di Syiria dengan membawa pasukan berjumlah besar, sehingga membuat mereka sengat gembira dan hilanglah rasa cemas yang ketika itu mereka rasakan. Keperkasaan pasukan Sultan al-Nashir didukung oleh para komandan berkebangsaan Turki yang terkenal tangguh dan berani membuat mereka tambah tenang.
Berkat pertolongan Allah swt. dan usaha bersama yanh gigih, akhirnya kemenangan berada di pihak pasukan islam. Walaupun banyak yang gugur, namun mereka berhasil memukul mundur pasukan Mongol.
Ibn Taimiyah adalah orang yang berpikiran bebas. Ia berani melancarkan kritik kepada siapapun yang dianggap menyimpang dari ajaran al-Qur'an dan Hadits. Ia juga pembela akidan kaum ahli sunnah. Ia mengecam para ahli ilmu kalam yang sudah terpengaruh oleh pemikiran pikiran para filsuf Yunani.
Ia berani berselisih dengan para ulama pengikut Asy'ari yang didukung oleh pemerintah dan sebagian besar rakyat. Bahkan ia juga berani menentang akidah dan ajaran Ibn Arabi, seorang ulama kenamaan yang memiliki banyak pengikut di Mesir maupun Syiria, dan punya hubungan dekat dengan para penguasa.
Karena keberaniannya inilah Ibn Taimiyah dipanggil ke Mesir untuk menghadap Sultan. Murid-murid dan par pendukungnya melarang ia memenuhi panggialan tersebut. Karena merasa tidak bersalah, ia pun memenuhi panggilan tersebut dengan perasaan tenang.
Pada hari jum'at tanggal 22 Ramadhan, Ibn Taimiyah tiba di Mesir. Seusai shalat jum'at ia dibawa kesuatu tempat untuk diadili. Penduduk bejejal-jejal ingin menyaksikannya. Sejumlah ulama besar dan pejabat tinggi pemerintahan turut menyaksikan jalannya persidangan Ibn Taimiyah.
Ia menolak diadili oleh seorang hakim bernama Ibn Makhluf al-Maliki, Karena mengejek keyakinannya. Jadi keputusannya pasti tidak adil. Dengan marah hakim itu menyuruh untuk memasukkan Ibn Taimiyah ke tahanan, tanpa lebih dahulu membuktikan kesalahannya. Dan tepat pada malam Hari Raya fitri ia dipindahkan ke penjara Jabb.
Pada tanggal 23 Rabi'ul Awal 707 H, Ibn Taimiyah dibebaska dari penjara atas jaminan seorang Arab benama Amir Hisamuddin Munha bin Isa. Sang Amir sendiri yang menjemputnya di pintu gerbang penjara.
Selepas dari penjara, sebenarnya ia diminta Sang Amir Hisamuddin untuk pulang ke Damaskus. Tetapi ia tidak mendapat izin dari Sultan yang menghendakinya untuk tetap tinggal di Mesir.
Namun belum lama Ibn Taimiyah kembali aktif mengajar, tiba-tiba ia dipanggil untuk yang ke-dua kalinya oleh Sultan karena ada beberapa laporan bahwa ia telah meracuni ummat dengan akidah yang sesat. Lalu ia ditawari tiga hal: pulan ke Damaskus, tetap tinggal di Mesir dengan syarat tidak boleh mengajarkan akidahnya atau di penjara.
Berdasarkan keinginan murid-murid dan para pengikutnya, Ia memilih pulan ke Damaskus. Namun di dalam perjalanan ia balik kembali ke Mesir. Ia memilih untuk di penjara saja, karena lebih terhormat. Di dalam penjara ia tetap berdakwah kepada narapidana dan memberikan fatwa kepada siapa saja yang menjenguknya. Beberapa bulan kemudian ia dibebaskan atas jasa seorang hakim yang simpatik padanya. Kebebasan tersebut disambut denan suka cita oleh murid-murid dan para pendukungnya.
Ketika kekuasaan Mesir dan Syiria jatuh ke tangan Sultan Ruknuddin Bibrus, kembali Ibn Taimiyah mendapat ujian. Atas hasutan para pejabat yang tidakk suka padanya, ia dibuang ke Iskandariyah. Perlakuan tersebut menimbulkan kemarahan murid-murid dan para pendukungnya yang semakin banyak. Karena tuntutan mereka akhirnya Ibn Taimiyah dibebaskan.
Pada hari kamis 22 Rajab lagi-lagi Ibn Taimiyah dipenjara karena keberaniannya mengeluarkan fatwa yang controversial. Kemudian atas perintah langsung dari Sultan pada hari senin 10 Muharram tahun 721 H ia dibebaskan lagi, setelah meringkuk selama kurang lebih setengah tahun.
Setelah keluar dari penjara tersebut, ia tetap istiqomah memberikan ceramah sesuai dengan akidah keyakinannya, bahkan semakin gencar. Salah satu fatwa sangat menggemparkan adalah larangan berziarah kubur.
Akibatnya, pad tanggal 7 Sya'ban 726 H pemerintah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Ibn Taimiyah dan par pengikutnya. Bahkan ada diantara mereka yang dibunuh dengan kejam, ada juga yang meninggal karena sakit keras seperti murid terdekatnya yang juga ulama besar yaitu, Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Dipenjara inilah ia berhasil menyelesaikan sebuah karya besar dalam masalah ilmu tafsir. Dari balik sel penjara ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya lewat surat. Sehingga dengan demikian ia masih leluasa menyebarakan akidahnya.
Mendapat laporan mengenai kegiata tersebut, sang Sultan dengan marah memerintahkan para aparatnya untuk menyita semua buku-buku dan alat tulis dari selnya. Ada 60 jilid buku, 14 buku tulis dan beberapa batang alat tulis yagn disita dari kamar tahanannya.
Tetapi ia tidak kehabisan akal. Ia tetap menulis engan menggunakn arang pad lembar-lembar kertas bekas yang ditemukan. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia terus berkarya dan berkarya demi kebaikan seluruh ummat islam. Karena kurang memperhatikan kondisi kesehatannya, di penjara inilah Ibn Taimiyah jatuh sakit hingga berminggu-minggu lamanya.
Seorang wakil penguasa Damaskus datang ke penjara untuk menjenguk Ibn Taimiyah. Setelah mendapat izin, ia langsung ke kamar sel. Dan ketika ia meminta maaf, denan santun Ibn Taimiah mengatakan: "aku telah memaafkan dengan semua orang yang pernah memusuhiku. Aku maklum bahwa mereka tidak tahu kalau aku berada dalam kebenaran ."
Pada malam tanggal 22 Dzulqa'dah 728 H/ 127 M akhirnya Ibn Taimiyah wafat. Seorang muadzin masjid di dekat penjara segera naik ke menara untuk mengumumkan wafatnya ulama besar ini.[3]

B.     PEMIKIRAN-PRMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH

1.      KETUHANAN
Mayoritas ulama ahli tauhid berpendapat bahwa tauhid terbagi menjadi tiga macam; pertama, Allah maha tunggal dalam dzatnya, tanpa ada bagian-bagian. Kedua, tunggal dalam sifatnya, tanpa ada yang menyerupai. Ketiga, meng-esakan perbuatannya, dalam arti yang menciptakan alam adalah satu. Mereka memaknai ketuhanan dengan "kekuasaan untuk menciptakan"
Sedangkan Ibn Taymiyah menetapkan tauhid pada metode lain dengan membaginya menjadi dua macam; pertama tauhid al-rububiyyah; yaitu mengakui bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Ialah Dzat yang mengatur alam dan menciptakannya, dan Dialah Dzat yang memberi fitrah setiap manusia untuk mengakui keberadaannya dan tunduk kepadanya. Kedua tauhid al-uluhiyyah; yaitu beribadah hanya kepada Allah, tiada satu makhluk pun yang menyekutuinya dalam beribadah kepadanya, dan dengan inilah makna kalimat laa ilaha illa Allah terwujud.[4]

2.       FUNGSI  RASULULLAH DAN KITABNYA DALAM KONTEKS TAUHID
Ibnu taimiyyah mengikuti pendapat imam ahmad bin Hambal bahwa dalam memahami kebenaran Allah dan memahasucikan-Nya hendaklah seorang mengikuti cara para nabi dan para pengikiutnya, yakni berpegang pada kitab Allah. Beberapa ayat berikut menjadi dalil atas masalah ini:
Q.S. Ali imran 102-103
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ (#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs? 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ øŒÎ) ÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è% Läêóst7ô¹r'sù ÿ¾ÏmÏFuK÷èÏZÎ/ $ZRºuq÷zÎ) ÷LäêZä.ur 4n?tã $xÿx© ;otøÿãm z`ÏiB Í$¨Z9$# Nä.xs)Rr'sù $pk÷]ÏiB 3 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt6ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÊÉÌÈ
102:"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam".
103:" Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
Q.S. Al Baqarah 213
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúïÌÏe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4 $tBur y#n=tG÷z$# ÏmŠÏù žwÎ) tûïÏ%©!$# çnqè?ré& .`ÏB Ï÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# $JŠøót/ óOßgoY÷t/ ( yygsù ª!$# šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù z`ÏB Èd,ysø9$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ 3 ª!$#ur Ïôgtƒ `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ ?LìÉ)tGó¡B ÇËÊÌÈ
213.  Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Menurut ibnu Taimiyyah nash-nash tersebut menjelaskan bahwa Allah mengutus Rasul-rasuln-Nya dengan menurunkan kitab suci untuk menjelaskan yang haq ari yang batil, dan menjelaskan apa yang mereka perselisihkan. kewajiban mereka adalah mengikuti apa yang telah diturunkan. Siapa yang mengikuti petunjuk yang dibawa Rasul , tidak bakal sesat dan tidak pula menderita. Sebaliknya orang-orang yang membelakanginya dihisab dengan status sebagai orang yang sesat, menderita, dan tersiksa.
3.      POLITIK
Ibn Taymiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai "kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin(imam)"dan "seluruh kewajiban lain yang telah ditetapkan Tuhan yaitu juhad, keadilan, haji, salat jama'ah, menolong kaum yang tertindas, penetapan hudud, dan sebagainya tidak dapat ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin".  "Agama tanpa sultan (kekuasaan), jihad, dan harta, sama buruknya dengan sultan, harta, dan perang tanpa agama."
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan  memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah atau semestinya berusaha mewujudkan tujuan-tujuan islam.
Ibn Taymiyah membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu yang belum ditetapkan oleh syari'at, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan penyuapan-wilayah tradisional hukum  sekuler(qonun) dan pengadilan banding. Ia juga boleh menetapkan sumber-sumber pendapatan baru melalui ijtihad pribadinya selain yang telah ditetapkan oleh syari'at, selam hal itu tidak dilarang oleh kesepakatan para fuqoha'.[5]
Umat islam menurutnya hanya satu umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah wadah anggota yang memiliki tujuan yang telah detetapkan oleh Al-qur'an dan Hadits, yaitu mewujudakan kehendak Allah set. Anggota umat harusbekerja sama dengan yang lainnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kajahatan. Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai dasar bagi perbuatan yang dilakukan bersama-sama.
Agar tujuan itu tercapai, haruslah didirikan sebuah kedaulatan Negara agama yanh adil yang bertugas menegakkan kebenaran, dan memastikan bahwa manusia telah melaksanakan kewajinan-kewajiban agama mereka, hidup bermasyarakat dengan baik, serta menjaga agar penguasa tidak melakukan penipuan dan korupsi. Ibn Taimiyah tidak senang terhadap liberalism dalam ekonomi, karena individu bukanlah penguasa mutlak atas semua perbuatannya; karenanya, semua perbuatannya harus tunduk pada perbuatan islam. Disamping itu, Negara harus mengawasi betul pembelajaan harta menurut ajaran tersebut.
Ibn taimiyah juga berpendapat bahwa perjuangan merupakan salah satu kewajiban, sampaipun terhadap moghul Islam,yang meniadakan ajaran agama, dan para pendukung moghul dari kalangan syi'ah. Ibn Taimiyah pernah memerangi moghul di Syam, dan mengirim pasukan perang untuk melawan kelompok syiah yang menduduki gunung syiria dan libanon. Karena itu, peperangan tidak hanya diwajibkan untuk melawan pasukan bukan muslim, tetapi juga untuk melawan kaum muslim yang memberontak.
Menurutnya, ketika islam datang menggantikan kedudukan agama yahudi dan nasrani, hukum perang terhadap kedua agama ini sangat dianjurkan. Dia menulis beberapa risalah tentang memerangi yahudi dan nasrani, menentang kelestarian tempat peribadatan dan gereja-gereja yang masih berdiri, serta merlarang membangun tempat peribadatan baru untuk mereka.[6]

4.      Tasawwuf
Tasawuf Hakekatnya Baik Beliau menjelaskan bahwa tasawuf itu asalnya baik. Ia berakar dari sikap zuhud ibadah tazkiyatun nafs shidiq dan ikhlas. Tasawuf bagi mereka memiliki beberapa prinsip yg telah dikenal yg telah jelas batas-batas dan asal-uslnya. Seperti yg mereka katakana bahwa shufi adl orang yg bersih dari kotoran dan sarat dgn muatan piker. Baginya sama saja antara emas dan batu. Tasawuf juga berarti menyembunyikan ma’na dan menghindari pengakuan manusia atau yg semisalnya. Mereka menghendaki dari ma’na tasawuf itu shidiq.
Lambat laun bergeserlah kesucian pemahaman dan konsep dasar ini kepada pemahaman yg juz’iyah dan rancu. Masuklah orang-orang atau kelompok yg menisbatkan sebagai shufi namun menyimpang dari prinsip semula. Mulailah praktek bid’ah dan khurafat masuk di dalamnya. Yang bahkan diingkari sendiri oleh tokoh-tokoh yg lurus di antara mereka sendiri. Beberapa kalangan dari ahli bid’ah dan zindiq telah menisbatkan dirinya pada tasawuf namun dikalangan tokohnya yg lurus mereka tidak dianggapnya. Seperti Al-Hallaj misalnya banyak dari tokoh tasawuf yg mengingkarinya dan mengeluarkannya dari shaf mereka. Juga Junaid bin Sayyidut Thaifah dan lain sebagainya sebagaimana tersebut dalam kitab Thabaqat Shufiyyah oleh Syaikh Abu Abdir Rahman as-Sulami?. [7]

C.     KARYA-KARYA ILMIAH IBNU TAIMIYYAH
Ibnu Taymiyah meninggalkan khazanah keilmuan yang luar biasa. Ia cukup banyak melahirkan karya sehingga Ibnu Wardi berkata: Ibnu Taymiyah menulis karya dalam sehari semalam mencapai 4 buku. Dan karya ilmiahnya diperkirakan mencapai 500 jilid.[8]
Dengan metode salaf ia berpikir tentang fiqh dan mengkritisi karya imam madzhab yang empat, terutama Imam Ahmad bin Hanbal. Ia seorang ulama yang mampu mengkritisi secara obyektif hasil pemikiran mereka (imam-imam madzhab). Dalalm berpikir ia banyak menggunakan referensi sunnah Nabawi, atsar sahabat dan tabi’in. Sehingga ia menghasilkan ide-ide cerdas dan baru yang belum ada sebelumnya. Sekalipun pada awalnya ia berangkat dari al-Qur’an dan Hadits serta pendapat ulama salaf.[9]
Beliau menerapkan metodenya ini dalam madzhab dan pendapat-pendapatnya, baik dalam bidang akidah, ilmu kalam, filsafat, mantiq, tasawuf, fiqh, tafsir, dan lain-lain dari bidang sosial dan politik. Tapi disini kami akan lebih menitikberatkan pembahasan masalah yang berhubungan dengan akidah islam.
Metode Ibnu taymiyah terdiri dari dua macam dasar:
Dasar yang pertama : bertendensi pada Al-qur’an dan Hadits
Dalam mengkaji semua masalah, Ibn Taymiyah selalu bertendensi pada kitab Allah, hadits-hadits shohih, kemudian pendapat-pendapat para Sahabat Nabi, terkadang beliau juga menggunakan qoul-qoul at-Tabi’in dan atsar yang diriwayatkan dari mereka, terutama dalam forum kajian ilmiah.
Metode yang pertama ini beliau terapkan dengan jelas dalam semua buku-buku dan catatan-catatan kecilnya, diantaranya yang berjudul “ma’arij al-wushul ila ma’rifah anna ushul ad-din wa furu’ahu qod bayyanaha ar-Rasul”. Di dalamnya beliau berkata: sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerangkan agama islam, masalah-masalah pokok serta furu’-furu’nya, dari segi kontekstual dan tekstualnya, serta dari sisi keilmuan maupun penerapannya. Maka inilah yang layak menjadi dasar dari keilmuan dan keimanan, dan setiap orang yang lebih menjaga dasar ini, maka dia-lah orang yang lebih utama dari sisi keilmuan serta amaliahnya.
 Berikut ini beberapa karya ilmiah yang di karang oleh ibnu Taimiyyah yang di kelompokkan dalam bebed\rapa bidang, antara lain sebagi berikut.
a.                                                                                                                Bidang Aqidah
1.                                                                                                   Al 'Aqidah Al Hamawiyah Al Kubra
2.                                                                                                   Bayan Mujmal'an ahli Jannah wan Nar.
3.                                                                                                   Kitabun nubuwah, tahun.
4.                                                                                                   Al Kalam 'ala Haqiqatil Islam wal Iman.
5.                                                                                                   Risalah fil Qadha wal Qadar.
6.                                                                                                   Ash Sharimul Maslu 'ala syanitir RAsul,
b.                                                                                                               Bidang Fiqih atau Ibadah
1.      Majmul Rasa'il Kubra.
2.      Majmul Rasa'il Fatawa.
3.      Jawami;ul Kalim atha Thayib fil 'Ad 'iyah wadz Dzikir.
4.      Al Qiyas bi Syar'il islam.
5.      Qa'idah fil Ibadah.
6.      Risalah fi Snnatil  Jum'uah.
c.                                                                                                                Bidang Tafsir
1.      Tafsir Ibnu Taimiyyah
2.      TAfsir Surah Al- Ihlas.
3.      Muqadimah fi Ushult Tafsir.
4.      Tafsir Surah Al- Kautsa.r
d.      Bidang hadits
1.      Arba'un haditsan Riwayah Ibnu taimiyyah.
2.      Al abdal Al 'Awali.
3.      Risalah fi Syarhhadits Abu Dza.
e.      Bidang Tasawuf
1.      Risalah fis Suluk.
2.      Qaidah fis Shabr.
f.                    Bidang Filsafat
1.      Ar-RAd 'ala Falsafah Ibnu Rusdy Al Hafid
2.      Nashiatul imam fir Radddi 'ala manthiqi Yunan.
g.                  Bidang Politik
1.      As Syiasah Asy Syariyyah fi  Islahir Ra'I  war Ra'iyyah.
2.      Al hisbah fil Islam.
3.      Al Ikitiyarat alilmiyyah[10].



D.     DAFTAR PUSTAKA
Amin, Husayn Ahmad 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung : PT Remaja
Aziz, Abd. MR. 2004. Terjemahan, Baik Dan Buruk Menurut Al-Qur’an. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Black, Antony. 2001. Terjemahan  the history of Islamic political thought: from the prophet to the present.
Chirzin, Muhammad. 1999. Pemikiran Tauhid Ibn Taimiyyah. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Fathullah, An102. 
dus Amal Zarkasyi. 1997. Ilmu al-Kalam. Ponorogo: Dar As-Salam.
Rosdakarya.






















IBNU TAIMIYYAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir  mata kuliah
KALAM 2
Dosen Pengampu:
Qomarul Huda, M.Fil i. M.Ag


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri (C)
 







Disusun oleh:
1.                                     Anton Mukarrom     (903100609)
2.                                     Isa Nur Faiz            (903101809)
3.                                     Risda Fatimah         (90310     09)
4.                                     Dewi Khalimatus s.       (933100209)
PRODI PERBANDINGAN AGAMA JURUSAN USHULUHUDDIN DAN ILMU SOSIAL SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)KEDIRI 2010


[1] Dr. Andus Amal Fathullah Zarkasyi. Ilmu al-Kalam.,hlm. 212
[2] Dr. Andus Amal Fathullah Zarkasyi. Ilmu al-Kalam.,hlm. 213
[3] Jamal Zainuddin, Bahruddin Aziz, Pejuang Dan Pemikir Islam Dari Masa Ke Masa, hal. 119
[4] Dr. Andus Amal Fathullah Zarkasyi. Ilmu al-Kalam.,hlm. 229
[5] Antony Black. 2001. Terjemahan  the historiy of Islamic political thought: from the prophet to the present. Hlm.294
[6] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, hal: 229-231
[8] Abd. Aziz MR. Terjemahan, Baik Dan Buruk Menurut Al-Qur’an. Hlm;viii
[9] Abd. Aziz MR. Terjemahan, Baik Dan Buruk Menurut Al-Qur’an. Hlm;vi

[10] Drs.Muhammad Chirzin. Pemikiran Tauhid Ibn Taimiyyah. Hlm: 10