Total Tayangan Halaman

Jumat, 18 Maret 2011

al kindi




  1. Riwayat Hidup Al-Kindi(185-252H / 806-873 M)

Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi cikal bakalnya, yaitu Banu Kindah, Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan dikagumi orang.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash Shabbah bin Imran bin Ismail bin Al Asy’ats bin Qais Al-Kindi.[1] Mengenai tahun kelahiran dan kematiannya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Tahun kelahirannya diduga pada masa-masa terakhir dari kehidupan ayahnya yang meninggal pada zaman khalifah Harun Al-Rasyid, khalifah ini meninggal pada tahun 193 H / 808 M. Jadi, kira-kira di sekitar permulaan abad ke-9 M atau 185 H / 801 M. Seperti yang di duga oleh T.J.De Boer dan Syekh Mustofa Abd.Razik. Demikian juga terdapat banyak dugaan sekitar tahun wafatnya, L.Massignon (orientalis Perancis) mengatakan bahwa Al-Kindi meninggal sekitar tahun 246 H / 869 M. Sedangkan C.Nallino (orientalis Itali) menduga sekitar tahun 260 H / 870 M dan T.J.De Boer (orientalis Belanda) menyebut tahun 267 H / 870 M. Syekh Mustofa Abd.Razik ( rector Al Azhar) menduga bahwa Al-Kindi meninggal sekitar tahun 252 H / 864 M.[2]
Begitu pula dalam filsafat Islam, karangan Drs.H.A.Mustofa disebutkan bahwa Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, Irak tahun 185 H / 801 M. Ayahnya , Ishaq Ash Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah ia lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim. Sedangkan nenek moyangnya adalah raja-raja Arab yang berkuasa di daerah Kindah dan sekitarnya yang terletak di kawasan Semenanjung Tanah Arab bagian Selatan dalam zaman pra-Islam.
Al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Islam pertama yang mula lahir dalam dunia Islam, yang bergelar “Filosof Arab” atau “Filosof Arab” dan “Anak para Rajanya”. Hal ini karena ia adalah satu-satunya filosof Islam dari keturunan Arab asli dan silsilah nasabnya sampai kepada Ya’qub bin Qathan, yaitu nenek pertama suku Arabia Selatan.[3]
Al-Kindi memperoleh pendidikan masa kecilnya di Basrah. Ia terlibat dalam gerakan penerjemahan dan cukup memiliki harta untuk menggaji banyak orang guna menerjemahkan atau menganalisa naskah-naskah ilmu pengetahuan dan filsafat dalam rangka mengisi dan melengkapi perpustakaan pribadinya, yaitu “Perpustakaan Al-Kindiyah”.
Ibnu Abi Usaibi’ah (w.668 H / 1269 M), pengarang Tabaqatul Atibba’, mencatat Al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada masa gerakan penerjemahan, tiga orang lainnya adalah Hunain bin Ishaq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan At-Tabari. Akan tetapi aktivitasnya lebih banyak tertuju pada upaya menyimpulkan pandangan-pandangan filsafat yang sulit dipahami dan kemudian mengarang sendiri.[4] Buku-buku karangannya (besar dan kecil), menurut keterangan Ibnu Al-Nadim , berjumlah 241 dalam falsafat, logika, ilmu hitung , astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, musik, matematika dsb. Dalam The Legacy of Islam, kita baca bahwa bukunya tentang optika diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.[5]
Perjalanan intelektual yang menghantarkan Al-Kindi menjadi Ulama besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan dua kota pada waktu itu, yakni Kuffah dan Basrah. Kedua kota tersebut pada abad ke-2 H / ke-8 M dan abad ke-3 H / ke-9 M, merupakan dua pusat kebudayaan Islam yang bersaingan. Kuffah, lebih cenderung pada studi-studi Aqwah, dimana Al-Kindi melewatkan masa kanak-kanaknya. Dia menghafal Al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab, kesastraan & ilmu hitung yang kesemuannya itu merupakan kurikulum bagi semua anak  muslim. Ia kemudian mempelajari fiqih & disiplin baru yang disebut kalam. Akan tetapi, tampaknya ia lebih tertarik pada ilmu pengetahuan & filsafat, terutama setelah ia pindah ke Baghdad. Pengetahuan lengkap tentang ilmu & filsafat Yunani bisa diperoleh dengan menguasai dua bahasa Yunani & Syria sebab banyak karya Yunani diterjemahkan dengan dua bahasa tersebut. Al-Kindi mempelajari bahasa Yunani, tetapi ia menguasai bahasa Syria dalam menerjemahkan beberapa karya klasik. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab, seperti terjemahan Enneads-nya Plotinus oleh Al-Himsi yang sampai kepada orang-orang Arab sebagai salah satu karya Aristoletes. Al-Qifti sang penulis biografi, mengatakan bahwa Al-Kindi menerjemahkan banyak buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik dan membuat intisari teori-teori canggih filsafat.[6]
Al-Kindi, hidup pada masa keemasan Bani Abbas, pada masa kecilnya sempat merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan Ilmu pengetahuan bagi kaum muslim, pada masanya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan, Al-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat pertemuan para ilmuan yang disebut “Bayt Al-Hikmah (Balai ilmu pengetahuan) Al-Rasyid wafat pada tahun 1934 H (809 M) ketika Al-Kindi berusia 9 tahun. Sepeninggal Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembagkan usaha susah payah oleh ayahnya. Al-Amin  wafat pada tahun 198 H (813M) kemudian digantikan oleh saudaranya Al-Makmun.
Pada masa Al-Makmun (198-228 H), perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat. Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih ditingkatkan sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.[7]
Al-Kindi adalah seorang yang cerdas dan pandai serta memiliki pengetahuan yang luas. Ia dihargai oleh para penguasa atau khalifah sebagai seorang keturunan raja, sehingga ia mudah diterima bekerja di istana di Baghdad. Karena keberhasilannya dalam tugasnya serta keluasan pengetahuannya, ia memperoleh kedudukan yang semakin menanjak dan sangat dihormati oleh khalifah Makmun dan Al-Mu’tashim. Pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim (218 H/833 M), Al-Kindi menjadi guru pribadi pendidik putranya, Ahmad bin Mu’tashim yang kemudian menjadi pengganti ayahnya sebagai khalifah di Baghdad.[8]
Ia juga terkenal dimasa pemerintahan Al-Mutawakkil (247 H / 847-861 M). Ibnu Abi Usaibiah menceritakan kemasyhuran Al-Kindi pada masa lalu bahwa, Muhammad dan Ahmad dua putra masa Ibnu Syakir, yang bersekongkol untuk memusuhi orang yang maju dalam ilmu pengetahuan, mengutus sanad Ibnu Ali ke Baghdad untuk memisahkan Al-Kindi dari Al-Mutawakkil. Persekongkolan mereka berhasil, sehingga Al-Mutawakil memerintahkan agar Al-Kindi diangkut. Perpustakaannya disita, dipindahkan dan disegel dengan nama “Perpustakaan Al-Kindi “.
Bila menilik pada masa Al-Kindi berinteraksi dengan pemerintahan Al-Makmun dan Al-Mu’tashim, tak heran , menurut Harun Nasution, Al- Kindi menganut aliran Mu’tazilah yang mengedepankan rasio dan filsafat dalam pemahaman buku-buku Yunani yang memberikan pengaruh besar terhadap pola pikiran Al-Kindi dimana ia turut aktif dalam kegiatan penerjemahan.
Kisah lain tentang Al-Kindi digambarkan dalam karikatur Al-Jahiz dalam kitab Al-Bukhala. Betapapun Al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah, yang di dalam kebunnya, ia memelihara banyak binatang langka, ia hidup menjauh dari masyarakat, bahkan tetangga-tetangganya. Sebuah kisah menarik oleh Al-Qifti memaparkan bahwa Al-Kindi bertetangga dengan seorang saudagar kaya, yang tak pernah tahu bahwa Al-Kindi adalah seorang tabib ahli. Ketika anak sang saudagar tiba-tiba lumpuh, dan tak seorang tabib pun di Baghdad mampu menyembuhkannya, seseorang memberi tahu sang saudagar bahwa ia bertetangga dengan filsuf tercemerlang, yang amat pandai mengobati penyakit seperti itu. Al-Kindi mengobati anak yang sakit itu dengan musik.[9]


B.     Karya-karya Al-Kindi
Jumlah karangan-karangan Al-Kindi sukar ditentukan secara pasti, hal ini dikarenakan penulis-penulis biografi Al-Kindi tidak sepakat tentang penuturannya, selain itu karangan-karangannya yang sampai kepada kita memuat karangan-karangan yang lain. Isi karangan-karangannya bermacam-macam antara lain; filsafat, logika, musik, aritmatika, geografi, fisika, psikologi, dll.
Sebagai seorang cendekiawan yang sangat cerdas, ia mengikuti pepatah Arab yang masih berlaku di Amerika, yaitu : berkeliling dunia & mengembara serta melakukan observasi adalah cara yang baik untuk memperoleh pengetahuan. Pada abad ke-XI buku-buku Ptolemy Al-Kindi tentang geografi berpengaruh pada Al-Khawarizmi yang kemudian menghasilkan The Image of The Earth yang kemudian menjadi buku rujukan geografi di Universitas Yagut. Selain itu juga berpengaruh pada Al-Mas’udi yang kemudian menghasilkan Meadows of God, and Mines of Gems (sejarah umat Islam, Yahudi, India dan Romawi dengan teknik biografi modern.[10]
Karangan-karangannya yang terkenal diketemukan oleh seorang ahli ketimuran Jerman, yaitu Hillmult Ritter, di perpustakaan Aya Sofia, Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah ini membicarakan soal-soal alam dan filsafat, antara lain ke-Esaan Tuhan, akal, jiwa, filsafat pertama. Risalah-risalah ini sudah diterbitkan di Mesir oleh M. Abdul Hadi Aburaidah[11] dalam bukunya yang berjudul Rasa’il Al-Kindi Al-Falsafiyyah yang terdiri atas dua jilid (Kairo, 1950 & 1953) diantaranya adalah;
1.      Fi al-falsafah al-‘ula
2.      Fi Hudud al-‘Alsy-ya’ wa Rusumuha
3.      Fi al-Fa’il al-Haq al-Awwal al-Tam
4.      Fi i-dhah Tanahi Jirmi-l –‘Alam
5.      Fi Wahdaniyyati’l-Lah wa Tanahi Jirmi’l-‘Alam
6.      Fi ‘illati’l-Kaun wa’l-fasad
7.      Fi’l-Qaul fi’n-Nafs
8.      Fi’n –Nafs
9.      Fi’l-Aql[12]

Dalam bidang filsafat, karangan Al-Kindi selain yang diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah, Prof. Ahmad Fuad Al-Ahwani juga pernah menerbitkan makalah Al-Kindi tentang filsafat pertamanya dengan judul “Kitab Al-Kindi Ila Al-Mu’tashim Billah fi Al-Falsafah Al-Ula (Surat Al-Kindi kepada Mu’tashim Billah tentang filsafat pertama)”.
Karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian & kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistemologi, metafisika, etika dsb. Sebagaimana para penganut aliran phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik.[13] Selain itu, dalam The Legacy of Islam, kita baca bahwa buku-bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.[14]
Gambaran karya Al-Kindi menunjukkan betapa luas pengetahuan Al-Kindi. Beberapa karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Geran M. Cremona ke dalam bahasa Latin, dan karya-karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Cardam menganggap Al-Kindi sebagi salah satu dari 12 pemikir terbesar. Sarjana-sarjana yang mempelajari Al-Kindi, sampai risalah-risalah Al-Kindi yang berbahasa Arab ditemukan dan disunting berdasarkan terjemahan bahasa Latin.
Beberapa karya Al-Kindi, baik yang ditulis sendiri atau ditulis ulang oleh penulis lainnya, diantaranya;
1.      Kitab Kimiya ‘Al-‘itr (Book of the Chemistry of Perfume)
2.      Kitab fi Isti’mal Al-‘Adad Al-Hindi (On the Use of the Indian Numerals)
3.      Risala fil-Illa Al-Failali l-Madd wal-Fazr (Treatise on The Efficient Cause of The Flow & Ebb)
4.      Kitab Ash-Shu’a’at (Book of the Rays)
5.      The Medical Formulary of Aqrabadhin of Al-Kindi, by M.Levey (1966)
6.      Al-Kindi’s Metaphysics : A Translatation of Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi’s Treatise “On First Philosophy (fi Al-Falsafah Al-Ula), by Alfred Livry (1974)
7.      Scientific Weater Forecasting in the Middle Ages the Writings of Al-Kindi, by Gerrit Bos & Charles Burnett (2000)
8.      Al-Kindi’s Treatise on Cryptanalysis, by M.Mrayati, Y.Meer Alam and M.H.At-Tayyan (2003)[15]

Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran “ekletisisme”.[16] Dalam metafisika & kosmologi ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika ia mengambil pendapat Socrates & Plato, meskipun demikian, kepribadian Al-Kindi sebagai filosof muslim tetap bertahan.[17]


C.    Pemikiran Al-Kindi

1.                  Definisi Filsafat Al Kindi

Al-Kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu. Itupun tanpa menegaskan dari siapa diperlehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai macam definisi-definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada. Tidak hanya pada salah satunya. Definisi-definisi Al-Kindi sebagai berikut :
a)      Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, Philo, sahabat dan Sophia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan atas etimologi Yunani dari kata-kata itu.
b)      Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi itu merupakan definisi fungsional yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
c)      Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau menafikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya banyak orang bijak terdahulu yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi laku manusia pula.
d)     Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi.
e)      Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitik beratkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenai dirinya sendiri. Para filosof berpendapat bahwa manusia adalah badan, jiwa dan aksedensial. Manusia yang mengetahui dirinya demikian itu berarti mengetahui segala sesuatu. Dari sinilah para filosof menamakan manusia sebagai mikrokosmos.
f)       Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya.[18]

2.                Agama dan Filsafat

Masalah hubungan agama dengan falsafah merupakan suatu masalah yang diperdebatkan pada zaman Al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu falsafah karena di antara produk pemikiran falsafi  jelas menunjukkan pertentangannya dengan ajaran Al-Quran. Sebagai seorang filsuf islam, Al-Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pembela ilmu falsafah terhadap serangan yang datang dari berbagai pihak yang tidak setuju. Baginya, agama dan falsafah tidaklah harus dipertentangkan karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Ilmu falsafah - kata Al-Kindi – adalah “ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya”. Justru karena itu, ilmu Falsafah adalah ilmu yang paling tinggi martabat dan tingkatnya dibandingkan dengan berbagai ilmu lain yang hanya berminat pada membahas fenomena dan sifat-sifat lahiriah dari sesuatu sasaran kajian.[19]
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, ke-Esaan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan bagaiman jalan memproleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Atas dasar itulah menurut Al-Kindi, kita wajib berterima kasih kepada para pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran kebenaran. Jika mereka tidak membekali kita dengan dasar-dasar pikiran yang membuka jalan bagi kebenaran, pastilah kita tidak akan dapat, sekalipun kita telah mengadakan penyelidikan yang lama dan tekun, menemukan prinsip utama yang benar atas dasar penarikan kesimpulan kita yang kabur, dan yang dari generasi ke generasi telah terbuka sejak dahulu hingga sekarang.
Tujuan ungkapan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia mulai dengan menbicarakan kebenaran. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya, sekalipun , misalnya, sumber itu dari orang asing. Kemudian, usaha berikutnya ialah masuk pada pesoalan pokok, yakni filsafat. Telah dipaparkan bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita, menurut Al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya.[20]
Ungkapnya: Seyogyanya kita tidak usah malu menyambut dengan baik akan kebenaran itu serta menerimanya dari manapun asalnya, walaupun dari jenis bangsa dan umat yang jauh dan berbeda dengan kita. Sesungguhnya, tidak ada sesuatu yang lebih utama bagi penuntut kebenaran daripada kebenaran. Tidak wajar merendahkan kebenaran serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarnya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, bahkan semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran.[21]
Selain itu, menurut Al-Kindi, pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut ;
1.      Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2.      Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran fisafat saling bersesuaian
3.      Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama

Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemaduannya ini, Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat  Al-Quran. Menurutnya, menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Diantara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut.
1.      Surat Al-Hasyr (59):2
…..Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
2.      Surat Al-A’raf (7):185Dan apakah mereka tidak memperhatikan kereajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah……[22]

Adapun orang-orang yang menolak ilmu falsafah, maka orang itu – menurut Al-Kindi  - mengingkari kebenaran, dan karena itu ia termasuk ke dalam golongan orang kafir. Ia jauh dari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya benar. Orang yang demikian sama halnya dengan orang yang memperdagangkan agama yang pada hakikatnya ia tidak beragama. Karena orang yang memperdagangkan sesuatu berarti ia menjualnya dan selanjutnya ia tidak memiliki lagi. “Maka siapa saja yang memperdagangkan agama berrti ia bukan orang beragama. Dan orang yang mengingkari usaha mengetahui hakikat sesuatu berhak untuknya membebaskan dirinya dari agama, sehingga ia disebut sebagai orang kafir”.[23]
Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argumen dan menjelaskannya. Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari.[24] Memang ada suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari, yang telah membuat banyak orang mengingkari ilmu filsafat, yaitu hasil-hasil pemikiran falsafi yang bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan dalam Al-Quran. Hal-hal yang seperti ini menurut Al-Kindi,  tidak boleh dijadikan sebab untuk menolak falsafah, karena dapat diatasi dengan mempergunakan ta’wil. Usaha ini adalah sah dan dimungkinkan, karena bahasa Arab itu memiliki dua makna: makna hakiki dan makna majazi ( metaforis ). Jika dalam makna hakiki terdapat pertentangan agama dengan falsafah, maka dengan menakwilkannya kepada makna majazi, agama tidak bertentangan, malah sesuai dengan hasil pemikiran falsafi. Hanya, ta’wil yang demikian itu tidak dapat dilalukan oleh sembarang orang, tapi ditentukan bagi ahli agama yang berpikir (dzawu’d-din wa’l-albab).
Sekiranya memang ada perbedaan ilmu falsafah dengan agama, maka itu tidak terletak pada isi kandungannya, tapi pada cara, sumber dan cirinya yang khas. Ajaran agama yang dibawa para nabi dan rasul itu tidak berasal dari dirinya sebagai hasil usahanya, tapi berasal dari Allah yang telah membuat jiwa mereka suci bersih dari noda, sehingga mampu menerima wahyu dari-Nya dengan cara yang ajaib di luar kemampuan manusia menirunya. Selain itu, ilmu para nabi itu ringkas, jelas serta mudah dimengerti, lagi memenuhi segala keperluan hidup manusia. Sedangkan ilmu falsafah dan berbagai ilmu manusia lainnya, hanya merupakan produk usaha keras manusia dalam membahas dan meneliti dalam waktu yang lama, dan dengan mempergunakan metode ilmiah dan falsafi.[25]
            Hal ini juga bisa kita lihat dalam tulisannya “Kammiyat Kutub Aristoteles”, Al-Kindi mengemukakan beberapa perbedaan antara filsafat dan agama, sebagai berikut ;
1.      Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berpikir, belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu, agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berpikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
2.      Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agam (Al-Quran) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan, seperti firman Allah yang disampaikan Rasulullah SAW.ketika ditanya orang tentang siapa yang menghidupkan tulang-belulang yang telah rapuh. Untuk lebih jelasnya, dapat dikemukakan teks ayat surat (QS.Yasin[36]78-81) sebagai berikut :
……..siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakan kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Allah yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan api dari kayu itu. “Dan tidakkah Allah menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa.Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.[26]
3.      Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode keimanan.
Dari uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa sikap Al-Kindi tentang filsafat dan agama tidaklah konsisten. Pada satu kesempatan, ia menyamakan tingkat kepastian yang diberikan oleh kedua jenis ilmu ini. Namun, pada kali yang lain, ia meletakkan pengetahuan rasional lebih rendah daripada pengetahuan kenabian. Agaknya, ketidakkonsistenannya ini ada kaitannya dengan ilmu filsafat sebagai disiplin ilmu baru yang ia perkenalkan kepada dunia Islam. Hal ini terekam dari pernyataannya yang berbunyi: “Yang paling luhur dan mulia di antara segala karya manusia adalah karya filsafat, yang definisinya adalah ilmu segala sesuatu berikut kebenaran-kebenarannya sebatas kemampuan manusia”. Jelas sekali bahwa filosof pertama dalam Islam ini tidak bermaksud memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam dari pintu depan dan mengusir agama dari pintu belakang. Filsafat dan berfilsafat merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam Islam.
      Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempangkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang datang kemudian. Dalam hal ini dapat diakatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di “pentas” filsafat Islam.[27] Dan karena itulah ia mendapatkan gelar “Filosof Arab Pertama” dalam dunia Islam.[28]


3.    Filsafat Al Kindi

a)      Filsafat Metafisika (Ketuhanan/Emanasi/Filsafat Ula/Filsafat Pertama)

Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof yunani dan filosof-filosof Islam lainnya, Al-Kindi sebagai filsuf juga ahli ilmu pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan itu ada 2 macam yaitu :
a.       Pengetahuan ilahi عِلْمُ اِلَهِىُّ (divine science) : pengetahuan langsung yang diperoleh nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b.      Pengetahuan insani عِلْمُ اِنْسَانِيُّ (human science) atau filsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Menurut Al Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Disinilah terlihat persamaan falsafah dan agam. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, demikian juga dengan falasah. Agama selain menggunakan wahyu juga menggunakan akal sebagaimana falsafah. ( jadi, menurut Al-Kindi, tak ada pertentangan antara agama dan falsafah[29]). Intisari filsafat Al-Kindi adalah bahwa falsafah yang paling tinggi adalah falsafah tentang Tuhan, Sebagaimana ungkapannya, “falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”. Yaitu ilmu yang benar pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar”. Kebenaran ialah kesesuaian apa yang ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal. Dalam alam terdapat benda-benda yang ditankap dengan panca indera, benda-benda ini merupakan Juz’iat (الْجُزْئِيَّاتٌ) atau particular. Yang penting bagi falsafah bukan juz’iat yang tak terhingga, yaitu kulliyat (كُلِّيَاتٌ) atau universal. Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, hakikatnya sebagai juz’i (حَقِيْقَةٌ جُزْئِيَّةْ) ini disebut mahiah yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Tuhan dalam falsafah Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk   وَالصُّوْرَةُ) لِيُّ اَلْهَيُو)
Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena tuhan tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik, ia adalah yang benar pertama (الْحَقُّ اْلأَوَّلَ) dan yang benar tunggal (الْحَقُّ الْوَاحِدَ), selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Dalam analisis Harun Nasution, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam, bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau tetap mempunyai permulaan.
Karena itu, ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafah Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Esa adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada, alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu.
Filsafat ketuhanan (emanasi), sebagaimana dalam teks Al-Kindi fi Al-Filsafat Al-Ula’, dikatakan sebagai nama lain dari filsafat pertama, ia menjelaskna maknanya sebagai berikut :
Pengetahuan tentang sebab pertama sesungguhnya disebut “filsafat pertama”, karena filsafat-filsafat terkandung dalam pengetahuannya. Oleh karena itu, sebab pertama dalam derajat berkenaan kemuliaan, pertama dalam genus, pertama dalam derajat, berkenaan dengan pengetahuan yang paling pasti dan pertama dalam waktu karena ia adalah sebab dalam waktu”.[30]
Persoalan metafisika ini, selain dibahas dalam falsafahnya “fi Falsafah Al-Ula (tentang filsafat pertama) yang dibahas dalam fi wahdah, ayat 1illahi wa tanahi firmil ‘alam (tentang keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam). Pembahasannya meliputi hakikat Tuhan, bukti-bukti atau dalil-dalil wujudnya Tuhan dan sifat-sifatnya Tuhan.


1)      Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tiada adalah wujud sempurna yang tidak didahului al wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.[31]

2)      Dalil adanya Tuhan :

a.       Barunya alam
Konsep tentang barunya alam ini telah umum dikenal dalam kalangan mutakallimin sebelum Al-Kiindi. Dalam hal ini, Al-Kindi mengajukan pertanyaan “mungkinkah sesuatu itu menjadi sebab bagi wujud dirinya sendiri, atau tidak? Kemudian dia menjawab “Hal itu tidak mungkin! Karena segala sesuatu dalam alam ini mesti dengan sendirinya ada sebab bagi adanya. Hal ini berarti alam ini ada permulaannya, baik dari segi gerak maupun dari segi zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian, gerak juga baharu seperti gerak . Jadi jisim gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baharu dan karena itu ada penciptanya (Al-Muuhdits).
b.      Dalil Keragaman dan Kesatuan   
      Dalil ini didasarkan pada konsep bahwa keragaman yang terdapat dalam kenyataan empiris ni tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan. Dan sebab ini bukan jenis dzat kenyataan tersebut karena jika demikian, mereka tidak akan ada kesudahannya secara aktual, yakni sebab yang tidak berakhir. Pada hal- kata Al-Kindi kata mengetahui bahwa tidak mungkin adanya sesuatu secara aktual tanpa akhir. Dengan demikian tentunya ada sebab lain yang membuat keterkaitan kenyataan empiris ini dalam keragaman dan kesatuan, yakni suatu dzat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahului ada-Nya (qadim), karena sebab itu harus mendahului musabbah. Dan itu adalah Allah SWT.

  1. Dalil Pengendalian (Tadbir)
Alam yang nyata terlihat ini, kata Al-Kkindi hanya mungkin diatur dan dikendalikan oleh adanya Yang Maha Tahu yang tidak terlihat. Dan Yang Maha Tahu ini tidak mungkin diketahui kecuali melalui adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai gejala dan bukti atas kepastian adanya pengatur dan pengendali (Mudabbir), dalil ini ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan sebelum itu juga pernah dikemukakan oleh Aristoteles sebagai dalil tujuan dalam alam ini. [32]

3)      Sifat-Sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al- Kindi, dan dalam hal ini ia mengikuti pendirian golongan Mu’tazilah. Diantara sifat-sifat Tuhan ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu dzat-Nya dan satu dalam hitungan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu, Yang Maha Berkuasa, Yang Hidup” dan seterusnya.
Al-Kindi membuktikan keesaan tersebut dengan mengatakan bahwa “Ia bukan benda (huyla, maddah), bukan form (shurah) tidak mempunyai kuantitas. Tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan lain (idlafah), misalnya sebagai ayah atau anak. Tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran, bukan genus, bukan differentia, bukan proprium (khassah), bukan accident,tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya, maka Tuhan adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaan itu semata.
Karenanya pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tiak ada, atau pada permulaannya ada, melainkan dzat yang ada dan wujud-Nya tidak tergantung pada yang lain-Nya atau tergantung kepada “sebab”, tidak ada yang menjadikan-Nya dan tidak ada sebab yang ia adalah dzat yang karena-Nya maka Ia ada bukan subyek atau predikat.
Dzat yang azali tidak rusak (musnah). Ia tidak bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud tuhan yang sempurna. Karena dzat azali tidak bergerak, maka zaman (waktu) tidak berlaku pada-Nya.
Kesimpulannya adalah bahwa Tuhan ialah sebab-pertama (first cause), dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah dzat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan, menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah dzat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.[33]

2. Filsafat Jiwa
Menurut Al-Kindi, roh tidak tersusun (بَسِيْطَةٌ), tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (الْجَوْهَرُ) berasal dari substansi Tuhan, dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan panca indra dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indra hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini, manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia. Tetapi dengan syarat, ia harus melepaskan dirinya dan sifat binatang yang ada dalam tubuhnya. Seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersih dari segala roda kematerian dan senantiasa berpikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci dan disaat itu, ia akan dapat menagkap gambaran segala hakikat, tak ubahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran benda yang ada didepannya.[34]
Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi. Karena roh adalah cahaya dari Tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Akan tetapi, kalau roh kotor, sebagaimana halnya dengan cermin yang kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan itu. Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasala dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Kekal (Tuhan) di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan (cahaya Tuhan), dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah, terletak kesenangan abadi dari roh.
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke Alam Kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhassil membersihkan diri disana baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah setingkatdemi setingkat sehingga pada akhirnya, setelah benar-benar bersih; ia sempat ke Alam Akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan. Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu, daya pemarah dan daya berpikir. Daya berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi, ada tiga macam akal, yaitu akal yang bersifat potensial (الَّذِي بِالقُوَّةِ), akal yang telah ke luar dari sifat potensial menjadi aktual (الَّذِي خَرَجَ مِنَ الْقُوَّةِ اِلَى الْفِعْلِ) dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (فِى حَالَةٍ مِنَ الْعَقْلِ ظَاهِرًا حِيْنَ يُبَاشِرُ الٍْفِعْلُ الْعَقَلَ الَّذِيْ نُسْمِهِ الثَّانِى ) yang disebut akal yang kedua.
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual. Jika tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar. Oleh karena itu, Al- Kindi, ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas (الْعَقْلُ الَّذِيْ بِالْعَقْلِ أَبَدًا). Akal ini karena selamanya dalam aktualitas membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual. Sifat-sifat akal ini adalah; (1) ia merupakan akal pertama. (2) ia selamanya dalam aktualitas. (3) ia merupakan spesies dan genus (4) ia membuat akal potensial nmenjdi actual berpikir. (5) ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.[35]
Bagi Al-Kindi, manusia disebut menjadi akil (عَاقِلٌ) , jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memeperoleh akal yang di luar itu (إِذَا اكْتَسَبَ هَذَا الْعَقْلُ الخَارِجِيُّ). akal pertama ini, bagi Al Kindi mengandung arti banyak karena dia adalah universal (الْكُلِّيَاتٌ مُتَكَثِّرَةٌ). Sebagai limpahan dari Yang Maha Satu. Akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اَوَّلٌ مُتَكَثِّرَةٌ).[36]


            3. Filsafat Etika
Di muka telah disebutkan beberapa definisi filsafat yang disajikan oleh Al-Kindi tanpa menyebutkan dari mana asalnya. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat diberikan definisi juga sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafsu adalah jalan untuk memeperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memeperoleh kenikmatan lahiriah bereti meninggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar daoat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : Ketahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan-keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan ( ilmu dan amal ). Bagian ini dibagi menjadi tiga pula, yaitu kebijaksanaan ( hiukmah), keberanian ( sajaah ), dan kesucian ( ‘iffah ). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang dapat berupa kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan teoristis adalah mengetahui segala sesuatu secara universal secara hakiki; dan kebijaksanaan praktis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakankeberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan untuk itu.[37]
Keutamaan kewajiban tiga macam itu merupakan benteng keutamaan pada umumnya yang menjadi batas yang memisahkan antara keutamaan dan kenistaan. Dengan kata lain, tiga macam keutamaan itu merupakan induk dari keutaman-keutamaan lainya. Oleh karenanya, berlebihan atau berkekurangan dari tiga macam keutamaan itu terhitung kenistaan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa keutamaan itu ialah tengah-tengah antara dua ujung yang ekstrim, melampaui batas yang kurang dari semestinya.; dan kenistaan adalah salah satu dari dua ujung itu, melampaui batas atau kurang dari semestinya. Kenistaan adalah keluar dari keadaan menengah, baik secara positif maupun negatif.
Kedua, keutamaan-keutamaan tidak terdapat dalam jiwa, tetapi hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga, hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Kenistaan yang merupakan padanannya adalah penganiayaan.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh konklusi bahwa keutamaan-keutaman manusiawi terdapat dalam sifat-sifat tersebut. Jika orang hidup memenuhi nilai-nilai keutamaan tersebut, niscaya ia akan hidup bahagia. Selagi manusia dalam hidupnya mau berusaha memperoleh kebahagian itu menjadi tujuan akhir hidup manusia maka orang yang ingin menikmati kebahagiaan itu. Hanya saja perlu diketahui bahwa orang yang sanggup dalam keutamaan semacam itu amat sedikit, orang-orang istimewa yang sanggup menahan diri agar tetap dalam keadaan adil, tengah-tengah.[38]

4. Filsafat Fisika ( Kosmologi )
Pemikiran Al-Kindi tentang kosmologi dapat dibaca dalam Rasa’il Al-Kindi Al-Falsafiyyah. Dalam kitab-kitab tersebut, menjelaskan bahwa alam ini dijadikan Allah dari tiada dan karenanya, Al-Kindi menyanggah kekadiman alam seperti yang dinyatakan oleh Aristoteles. Dalam alam ini – kata Al-Kindi - terdapat berbagai gerak yang antara lain gerak menjadikan dan merusak ( alkaun wal’l-fasad ). Adapun gerak yang demikian itu ada empat sebabnya yaitu : sebab, sebab materiil, sebab formal, sebab pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab tersebut bertemu pada sebab “ sebab pertama “ bagi segala kejadiandan kemusnahan dialam ini, yaitu Allah dan sebab-sebab lain yang berwujud jisim-jisim falak yang mempengaruhi kejadian fenomena tersebut melalui empat unsur : air, api, udara, dan tanah. Fenomena “ kejadian “ dan “ kerusakaan “ ( al-kaun wal-fasad ) hanya terbatas pada alam ayang terletak dibawah falak pula. Sebenarnya, karena fenomena ini hanya terjadi pada sesuatu yang mempunyai kualitas yang berlawanan. Kualitas-kualitas pertama adalah panas, dingin, kering dan basah, sehingga tidak mengalami hal tersebut, yakni abadi.
Jadi, alam ini-menurut Al-Kindi - terdiri dari dua bagian : alam yang terletak dibawah falak bulan sampai ketujuh alam. Jenis alam pertama terjadi atas empat unsure tersebut dan merupakan alam perubahan, perubahan dan kemusnahan. Sedangkan jenis kedua tidak tumbuh dan tidak musnah karena tidak terjadi dari unsur-unsur tersebut dan karenanya alam ini abadi.
Adapun bumi ini yang terletak di bawah falaq bulan, maka ia merupakan pusat alam, suatu planet (Kurah) yang tetap, tidak bergerak dan dikelilingi oleh air, udara dan api; juga dilingkari oleh sejumlah falak yang berakhir pada falak terjauh yang meliputi alam semesta yang disebut “jism semesta” (jismul ‘lkul). Di bagian luar jism ini tidak ada sesuatu lagi, baik jism maupun kekosongan. Semua falak tersebut bergerak melingkar di sekitar pusat alam, yakni bumi.
Kecuali itu, falak-falak ini, menurut Al-Kindi, adalah makhluk yang hidup, memiliki indra penglihatan dan pendengaran, dan karenanya juga berpikir.dari itu, falak-falak ini merupakan  “Sebab terdekat” bagi apa yang terjadi di planet bumi ini. Disebabkan gerak lingkaran yang continue ke sisi-sisi tertentu, timbullah berbagai kegiatan, kehidupan dan makhluk di permukaan bumi ini, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
Demikianlah system dan susunan alam jagat ini dalam konsep Al- Kindi. Alam adalah makhluk hidup yang mempunyai jiwa semsta yang merupakan sebab terdekat bagi niwa-jiwa makhluk yang di bumi ini.[39]


Kesimpulan
Al-Kindi adalah filosof Islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemuikan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai seorang filosof, Al Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian Al-Kindi tidak sependapat denagn para filosof Yunani dalam hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama Islam yang diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tiada, berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya Al-Kindi tidak termasuk filosof yang dikritik Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof).
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan Al-Farabi. Namun sebagai filosof perintis yang menempuh jalan bukan seperti para pemikir sebelumnya, maka nama Al-Kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa di kalangan filosof sezamannya dan sesudahnya (Bahkan dia dijuluki sebagai “Filosof Arab”[40]). Tentu saja ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijaksanaan akan senantiasa merujuk kepadanya.[41]




                           




DAFTAR PUSTAKA



Aceh, Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam. Solo : Ramadhani :1991.
Al-Ahwal, Ahmad Fuad. Filsafat Islam.Jakarta : Pustaka firdaus. 1993.
D. Beavers, Teed. Pradigma Filsafat Pendidikan Islam. Kontribusi Filsafat Islam. Jakarta : Riora cipta.2001.
Daudy, Ahmad. Kuliah filsafat Islam.Jakarta : Bulan BintaNG. 1986.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:Bulan Bintang. 1990.
Madkour, Ibrahim. Filsafat Islam : Metode dan Penerapan. Jakarta : PT Grafindo Persada. 1996.
Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.
Supriyadi, Dedy. Pengantar Filsafat Islam. Bandung : CV. Pustaka Setia. 2009.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales dan Capra). Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2009.
Terjemahan M.M.Syarif.Para Filosof Muslim. Bandung:Mizan.1996.
Zar, Sirojuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Falsafahnya. Jakarta:Raja Grafindo. 2004.














                                                        



[1].A.Mustofa,  Filsafat Islam, Bandung:CV.Pustaka Setia, 1997,  hlm.99.
[2] Ahmad Daudy,  Kuliah Filsafat Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1986, hlm.9-10.
[3] A.Mustofa, Ibid.
[4] Dedy Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung:CV.Pustaka Setia, 2009, hlm. 50-51.
[5] Harun Nasution ,Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta:Bumi Aksara 1978, hlm. 7.
[6] Dedy Supriyadi, Ibid, hlm. 51-52.
[7] A.Mustofa, Ibid., hlm. 99-100.
[8] Ahmad Daudy, Ibid., hlm. 10.
[9] Dedy Supriyadi, Ibid., hlm. 52.
[10] Tedd D.Beavers, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:Riora Cipta, 2001,  hlm. 21-22.
[11] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:Bulan Bintang, hlm. 73-74.
[12] Ahmad Daudy, Ibid. hlm. 11.
[13] A. Mustofa, Ibid. hlm.101.
[14] Ahmad Daudy, Ibid. hlm11.
[15] Dedy Supriyadi. Ibid hlm. 53.
[16] Aliran ekletisisme : suatu kepercayaan yang tidak mempergunakan/mengikuti metoda apapun yang  ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari metoda-metoda filsafat.
[17] A.mustofa, Ibid, hlm.101-102.
[18] A.Mustofa, ibid. hlm.103.
[19] Ahmad Daudy, Ibid, hlm. 11-12
[20] Sirojuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Falsafahnya, Jakarta:Raja Grafindo, 2004, hlm. 44-45
[21] Ahmad Daudy, Ibid, hlm. 13.

[22] Sirojuddin,ibid.hlm.47.
[23] Ahmad Daudy,ibid,hlm.14.
[24] Sirojuddin,ibid.hlm.47-48.

[25] Ahmad Daudy, Ibid, hlm. 15.

[26] Sirojuddin, Ibid, hlm. 48-49.
[27] Ibid, hlm. 49-50.
[28] Ahmad Daudy, Ibid.
[29] Ahmad Daudy,Ibid.hlm.11.
[30] Dedy Supriyadi,Ibid,hlm.55-57.
[31] Ahmad Hanafi,Ibid,hlm.77.
[32] Ibid.
[33] Ahmad Daudy,Ibid,hlm.16-17.
[34] Dedy Supriyadi,Ibid,hlm.58-60.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ahmad Mustofa,Ibid.hlm.110-112.
[38] Ibid.
[39] Ahmad daudy,Ibid.hlm.18-20.
[40] Ahmad Mustofa,Ibid.hlm.99.
[41] Ibid.hlm.114-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar